Selasa, 27 November 2012

Kelahiran Putriku Raisya Alexandra Suryaputri (Part1)


Mungkin sudah agak basi mengisahkan pengalamanku saat melahirkan putri pertamaku ini. Karena sekarang alhamdulillah usianya sudah genap 2 bulan. Tapi biarlah kisah ini akan menjadi abadi setelah tergores melalui pena kecil bundanya, agar kelak dia juga bisa membacanya. Bukankah setiap apa yang telah terucap dan tertulis akan bernyawa dan hidup di jalannya sendiri? J

Saat itu, hari Selasa malam, tepatnya tanggal 25 September 2012 kami (saya dan suami) melakukan cek kehamilan untuk rekam jantung janin karena usia kandungan saya sudah memasuki 40-41 minggu. Ini sudah melewati tanggal perkiraan melahirkan yaitu tanggal 22 September, karenanya dokter menyarankan untuk melakukan rekam jantung janin untuk memastikan kondisinya bagus dan proses kelahiran masih bisa ditunggu. Setelah pemeriksaan, dokter menyarankan agar saya segera dilakukan tindakan dengan dirangsang karena usia kandungan saya sudah lebih dari cukup dan perkiraan berat janin sudah 3,6 kg. Saya meminta kepada suami agar jangan sekarang dulu karena rasanya mental belum siap jika harus langsung masuk rumah sakit. Akhirnya kami memutuskan untuk menunda sampai dengan besok paginya. Sepulang dari rumah sakit kami masih sempet nonton film lho, hitung-hitung relaksasi, begitu alasan saya pada suami J.

Esok harinya setelah melakukan semua persiapan tepat jam 11 saya masuk ruang bersalin di lantai 2 Rumah Sakit Mitra Keluarga Bekasi Barat. Suami tidak diijinkan masuk dulu. Saya berganti pakaian dengan baju pasien untuk ibu melahirkan. Selanjutnya kembali dilakukan rekam jantung janin. Dari hasil pemeriksaan, jantung janin bagus, kontraksi mulai ada dan teratur setiap 20 menit sekali, pembukaan belum ada. Setelah suster melaporkan hasil pemeriksaan ke dokter Lina Meylina, SpO (dokter kandungan saya), diputuskan untuk diberikan induksi dengan memsukkan obat melalui jalan lahir dan akan terus dipantau kondisi janin dan kontraksi rahim.

Setelah diberikan obat saya melakukan aktivitas seperti biasa. Saya turun ke lantai 1 untuk melaksanakan shalat dhuhur di mushala ditemani suami. Kemudian kembali ke ruang bersalin dan makan siang. Selanjutnya saya mengobrol dengan suami sambil saya berjalan kaki hilir mudik di selasar ruang tunggu kamar bersalin agar kontraksi semakin bertambah.

Jam 14.00 kembali dilakukan cek, jantung janin bagus, kontraksi mulai meningkat menjadi setiap 15 menit sekali, belum ada pembukaan. Saya kembali menemani suami di ruang tunggu sambil jalan kaki lagi. Memasuki waktu shalat ashar kami kembali shalat di mushala rumah sakit. Saya kembali berjalan-jalan hilir mudik di selasar ruang tunggu. Jam 16.00 kembali dilakukan pemeriksaan, hasilnya kontraksi makin meningkat lagi menjadi 10 menit sekali, belum ada pembukaan. Selanjutnya saya mandi dan berganti pakaian. Suami juga memberi tahu mau pulang dulu, mandi dan menjemput ibu saya di rumah.

menemani suami di ruang tunggu sambil menahan nyeri 
Saya merasakan perut makin nyeri, mungkin karena kontraksi yang frekuaensinya semakin meningkat, sehingga untuk shalat magrib saya memutuskan shalat di ruang observasi di samping ranjang saya. Selanjutnya kembali dilakukan pemeriksaan, detak jantung janin bagus, kontrkasi meningkat menjadi setiap 5 menit, belum ada pembukaan. Saya melanjutkan dengan makan malam, shalat isya’ lalu baru keluar ke ruang tunggu menemui suami dan ibu. Di sana saya kembali berjalan hilir mudik. Sekitar jam 21.00 suster memberi tahu saya untuk dilakukan pemeriksaan ulang. Saya kembali masuk ruang observasi dan suami mengantarkan ibu saya kembali pulang ke rumah. Hasil pemeriksaan kontraksi setiap 3 menit sekali, belum ada pembukaan. Jam 22 saya kembali keluar ke ruang tunggu menemani suami sambil makan buah sirsak yang saya pesan untuk dibawakan dari rumah. Kami masih mengobrol, membayangkan nanti saya bersalin, suami menemani, melakukan “gentle birth” dilanjutkan dengan IMD (Inisiasi Menyusui Dini), membayangkan wajah putri kami, sambil sesekali saya meringis menahan nyeri karena kontraksi. Tepat jam 11 saya meminta ijin pada suami untuk masuk kembali ke ruang observasi agar bisa beristirahat, saya lihat suami saya juga sudah mulai mengantuk. Saya mencoba tidur meski sulit karena perut  saya yang rasanya besar sekali dan rasa nyerinya makin menjadi. Terakhir saya melihat jam di “hand phone” (HP) sebelum bisa memejamkan mata menunjukkan jam 02.07. Saya akhirnya terlelap.

Di tengah tidur saya merasa kaget, rasanya ada yang basah, saya fikir saya (maaf) mengompol. Saya turun dari ranjang dengan maksud mau ke kamar mandi untuk buang air kecil. Baru turun dari ranjang rasanya ada yang mengalir deras dari (maaf) vagina, deras dan tidak bisa ditahan sama sekali. Saya memanggil suster. Karena saya belum tahu apa yang terjadi saya sedikit panik, suster memberi tahu bahwa ini air ketuban, “Ibu mengalami pecah ketuban” begitu mereka katakan. Saya minta ijin ke kamar mandi dulu buat ganti baju. Suster menyuruh saya untuk naik ke ranjang dulu untuk diperiksa. Kembali, detak jantung janin bagus, kontraksi setiap 2 menit dan makin kencang, belum ada pembukaan. Saya melihat jam di HP saya jam 03.30. Saya menelfon suami memberitahukan apa yang terjadi. Perasaan saya mulai tidak karuan. Takut jika harus menjalani persalinan melalui caesar. Suami berusaha menenangkan, “Kita cari jalan yang terbaik ya sayang” begitu yang dia ucapkan di seberang telepon. Air mata saya menetes. Selanjutnya saya ke kamar mandi untuk mandi dan berganti pakaian. Adzan subuh berkumandang, suami meminta dikirimin nomor HP dokter Lina yang tersimpan di HP-nya (semalam sebelum masuk ruang observasi kami bertukar HP, karena HP suami saya “lowbath” sehingga bisa saya “charge”).

Bersambung...